Hijab dan Pakaian, Bukan Sekedar Adat
Persoalan pakaian merupakan persoalan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam istilah ekonomi yang sering terdengar dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada tingkat SMP sering didengar istilah sandang, pangan, dan papan. Tiga kata tersebut seringkali menjadi contoh yang mudah didapat dari kebutuhan pokok manusia, dan pakaian ternyata adalah kata yang pertama kali diucapkan lebih dahulu daripada makanan dan rumah. Di dalam persepsi manusia, pada umumnya suku yang minim dalam berpakaian biasanya diasosiasikan sebagai suku primitif.
Sebagaimana dalam Islam, cara berpakaian adalah tata krama yang telah diatur dalam syariat. Di dalam Islam cara berpakaian bukan sekedar aksi ekonomi ataupun produk budaya. Cara berpakaian adalah bentuk ibadah yang telah tersurat (mahdhoh) dan tidak perlu dibantah lagi. Tetapi rupanya banyak umat Islam, baik dari kalangan intelektual ataupun awam, sering meremehkan bahkan merendahkan ajaran Islam yang sangat beradab ini. Hinaan, pelarangan atau sekedar cibiran, masih saja dilayangkan kepada kaum muslimin yang benar-benar berpakaian secara syar’i dan independen dari unsur-unsur mode, tren dan perhiasan.
Terlalu ekstrim, kaku, kuno, atau tidak modern. Pernyataan-pernyataan nisbi seperti itulah yang sering dilontarkan kepada muslimah yang benar-benar ingin berpakaian secara islami. Sedangkan pernyataan yang populer di kalangan ajam, seperti di Indonesia adalah statemen yang mengatakan bahwa menutup muka dengan cadar, atau bahkan hanya sekedar berjilbab besar dengan warna gelap adalah budaya Arab dan tidak ada kaitannya dengan budaya nusantara. Pernyataan ini perlu dicermati lagi, sebab apa yang dituduhkan oleh kaum anti-hijab tidak sepenuhnya benar.
Khazanah Hijab Nusantara
Indonesia menyimpan banyak budaya tradisional, tentunya juga dalam masalah pakaian. Banyak suku di nusantara ini mengembangkan perilaku berpakaian tapi telanjang dalam adat istiadat mereka. Mungkin khalayak umum hanya mengetahui baju kurung yang banyak terdapat di sumatera sebagai cara berpakaian yang terlihat paling mendekati Islam. Namun ternyata ada juga adat istiadat tradisional nusantara yang cukup terlihat “ekstrim” dibanding dengan adat-adat lain. Salah satu (kalau tidak boleh dibilang satu-satunya) adat istiadat yang banyak mengakomodasikan unsur-unsur “ekstrim” dalam pakaian Islami adalah adat rimpu yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat.
Produk budaya yang juga dibanggakan oleh masyarakat setempat ini adalah cara berpakaian bagi muslimah yang komponennya adalah mengenakan pakaian yang longgar (dalam bentuk sarung) dan secara teoritis menutupi seluruh tubuh kecuali wajah. Bahkan bagi kalangan wanita muda yang masih menampakkan kesegaran (terutama perawan) dianjurkan untuk memakai rimpu ke seluruh tubuh dan menutupi wajah kecuali sepasang mata, sebuah gaya berpakaian yang sering diidentikkan dengan gaya fesyen padang pasir. Hal yang membedakan adalah bahan pakaian yang digunakan adalah sarung tenunan buatan lokal dan bercorak sangat nusantara.
Rimpu merupakan hasil budaya kesultanan Bima yang telah ada setidaknya sejak abad 17 Masehi. Negara Islam Bima telah berdiri sejak abad 11 Hijriyah, dan rimpu menjadi pakaian kebanggaan wanita muslimah di Bima. Rimpu selain membuktikan ketaatan mereka dengan syariat Islam, juga membuktikan bahwa wanita tersebut independen secara kebutuhan sandang. Sebab memakai rimpu menjadi bukti bahwa mereka mampu untuk menenun sendiri sarung, atau dalam bahasa lokal disebut sebagai Tembe Nggoli. Wilayah Bima dan sekitarnya sendiri juga telah masyhur sebagai penghasil produk-produk sarung yang wilayah pemasarannya sampai ke negeri Cina sejak abad ke-13 Masehi.
Memang dalam pengaplikasiannya, rimpu mungkin masih banyak kekurangan dalam menerapkan syariat hijab, terutama bila mengacu risalah-risalah tentang menutup beberapa bagian tubuh yang dibahas oleh para ulama. Tetapi budaya rimpu membuktikan bahwa pernyataan fesyen padang pasir adalah budaya arab yang bukan menjadi bagian dari budaya nusantara adalah sesuatu yang mengada-ada. Atau setidaknya budaya hijab sudah menjadi masuk menjadi bagian nusantara jauh sebelum didirikannya pancasila, UUD ’45, dan kelompok-kelompok anti syariat.
Keberadaan rimpu dan pakaian yang sejenis dengannya jelas merupakan antidot bagi penyakit masyarakat yang kini sedang merajalela. Tubuh wanita dengan liuk-liuknya menjadi terproteksi secara visual dan hal ini menjadi penghalang bagi lelaki yang sering cuci mata di jalan-jalan atau tempat-tempat umum lainnya. Tertutupnya wajah si gadis juga tidak memberikan peluang bagi pria-pria untuk menikmati wajah yang seringkali menjadi pintu pertama bagi seorang pria untuk menikmati pintu-pintu terlarang lainnya. Hal ini berbeda dengan metode etika yang bukan dari ajaran Islam. Metode etika bukan Islam (baca : kufur) cenderung melarang hijab dan menganggap hijab sebagai penghalang. Metode bukan Islam cenderung memutihkan hubungan-hubungan haram, dan membuat perzinahan seolah-olah bukan lagi penyakit masyarakat, selama suka sama suka.
Sekilas Hijab dalam Islam
Dalam mengatur mode berpakaian, terutama bagi muslimah, Islam telah mengatur umatnya untuk mengikuti al-Quran, Sunnah dan wejangan para ulama kebenaran. Dalam al-Quran telah jelas tersurat batasan-batasan yang disyariatkan. Tidak ada lagi celah untuk tidak mewajibkan pakaian syar’i. Berikut ini beberapa dalil quran yang sering menjadi sumber bagi pembahasan hijab wanita muslimah :
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS an-Nuur : 31)
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS al-Ahzab : 59)
Berikut ini adalah beberapa penuturan shahabiyah tentang ayat-ayat diatas (ayat hijab) :
Aisyah radhiyallahu anha berkata : “Semoga Allah merahmati wanita-wanita kaum muhajirin pertama. Ketika Allah menurunkan ayat, ‘Dan hendaklaha mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,’ maka mereka merobek pakaian tanpa jahitan mereka, kemudian mereka menggunakannya sebagai kerudung. “ (Diriwayatkan al-Bukhari)
Ummu Salamah radhiyallahu anha berkata, “Ketika ayat ini turun, ‘Hai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mukminin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka ‘,’ maka wanita-wanita anshar keluar dan di kepala mereka seperti ada burung-burung gagak dari kain. “
Terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, terutama pada zaman ini, tentang spesifikasi hijab. Perbedaan ini menyangkut pada batasan yang bukan aurat, seperti muka dan telapak tangan. Namun secara umum pendapat para ulama, terutama dalam masalah menutup muka, terbagi menjadi tiga pandangan :
Golongan yang mengatakan bahwa menutup muka dan telapak tangan, adalah tidak disyariatkan dalam Islam. Artinya bagian-bagian tersebut bukanlah aurat, dan menutupinya juga bukanlah amalan yang bersifat sunnah dalam Islam. Hanya saja memang bagi golongan ini, mereka tidak mencela pemakaian cadar. Mereka menganggapnya sebagai sebuah kebaikan yang diperbolehkan. Golongan ini mendasarkan bahwa hijab yang ketat, seperti cadar, adalah syariat yang dikhususkan bagi istri Rasulullah saja. Pemakaian cadar dan yang sejenis dengannya adalah pembeda antara shahabiyah biasa dengan para ummul mu’minin.
Golongan yang mengatakan bahwa menutup muka dan telapak tangan adalah sunnah. Sedangkan aurat adalah selain itu. Mereka berpendapat bahwa memakai cadar dan sejenisnya adalah sunnah. Golongan ini mendasarkan bahwa membuka wajah adalah hal yang biasa pada masa Rasulullah. Akan tetapi karena manfaatnya yang besar, mereka berpendapat bahwa memakai cadar itu lebih utama dan amalannya bersifat sunnah.
Golongan yang mewajibkan bahwa seluruh tubuh adalah aurat, sehingga semua anggota badan wajib ditutupi oleh hijab. Golongan ini berhujjah dengan qur’an surat al-Ahzab ayat 59 serta sebuah hadits yang menyatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Sehingga jilbab wajib dijurlurkan ke seluruh tubuh.
Namun hampir semua (kalau tidak boleh dikatakan semua) ulama telah sepakat bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Juga pakaian wanita muslimah tidak boleh ketat, atau di dalam Islam diistilahkan berpakaian tapi telanjang. Seperti halnya dalam hadits Rasulullah berikut ini :
“Dua golongan dari ahli neraka yang aku tidak peduli kepada keduanya” disebutkan diantaranya : ” Dan wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang melenceng meninggalkan kebenaran, kepalanya seperti punuk unta, dia telah tersesat, dan tidak akan memasuki jannah dan tidak akan mencium bau jannah (syurga), padahal wanginya jannah ini tercium dari perjalanan sejauh sekian dan sekian “ (HR Muslim).
Ketentuan lain yang harus dipatuhi ialah bahwasanya pakaian muslimah tidak boleh menyerupai laki-laki dan pakaian muslimin tidak boleh menyerupai perempuan. Sebab Rasulullah melaknat orang yang meniru-niru penampilan lawan jenis, sebagaimana dalam sabda Rasulullah :
“Allah melaknat orang laki-laki yang mengenakan busana wanita, dan wanita yang mengenakan busana laki-laki. Allah juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita-wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al Bukhari)
Budaya dan Kebebasan atau Islam ?
Sesungguhnya merupakan hal yang telah pasti, jika dakwah Islam selalu mendapatkan keengganan dari orang-orang yang tidak mendapatkan hidayah. Begitu pula dengan etika berpakaian. Banyak alasan yang dikeluarkan oleh orang yang enggan kepada Islam dan yang sepemahaman dengan mereka untuk menghindar dari syariat hijab. Para feminis, liberalis, dan para penyokongnya selalu menganggap syariat hijab sebagai pakem yang mengganggu emansisipasi, atau mengganggu kegiatan wanita. Mereka beranggapan bahwa penggunaan hijab seperti jilbab dan cadar adalah merendahkan martabat wanita.
Sebenarnya isu-isu yang mereka gulirkan tidak lain hanyalah menguntungkan para produser-produser media-media syahwat dan aurat. Gagasan-gagasan mereka tidak lain adalah kontra-produktif terhadap perzinahan, pemerkosaan, dan banyaknya perceraian. Pada muaranya, kasus-kasus seperti perzinahan dan pemerkosaan hanya akan menghasilkan pembunuhan-pembunuhan, kasus bunuh diri atau aborsi-aborsi yang selama ini makin merajalela. Bahkan liberalis dan demokrat (terutama di negeri Paman Sam), telah melegalkan hak seorang wanita yang ingin membunuh darah dagingnya sendiri yang masih di dalam kandungan. Lantas apa bedanya membunuh yang di luar dengan yang di dalam kandungan ?
Selain itu pengkaburan yang sering dihembuskan kepada masyarakat awam tentang hijab adalah bahwa hijab adalah budaya arab yang tidak perlu diamalkan. Mereka yang masih lemah iman kadangkala malu jika dituduh tidak nasionalis atau meninggalkan budaya nenek moyang. Dalam hal ini perlu diketahui bahwasanya dakwah Rasulullah dan para ulama adalah dakwah yang seringkali berbenturan dengan budaya lokal. Sehingga sudah menjadi ciri khas bagi orang-orang yang fanatik dengan budayanya akan memilih melanjutkan kejahiliyahannya daripada mengikuti ajaran Islam.
Gagasan Nasionalisme dan kesukuan lainnya adalah gagasan yang busuk dan tidak sesuai dengan Islam. Sehingga hendaknya seorang muslim meninggalkan fanatisme terhadap budaya lokal menuju ke ajaran Islam yang sempurna. Hendaknya kaum muslimin benar-benar meninggalkan kejahiliyahan, meskipun berbentuk budaya, adat istiadat, ideologi, atau apapun yang menghalangi pribadi seseorang untuk mengamalkan Islam secara keseluruhan. Hendaknya direnungkan firman Allah berikut ini :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS al-Baqarah : 208)
No comments:
Post a Comment